Kartini Nyantri: Inspirasi Perjuangan
Habis Gelap Terbitlah Terang
Oleh
Fathoni Ahmad
Selama
ini RA Kartini dikenal sebagai seorang bangsawan Jawa sekaligus priyayi, cara
mudah bagi orang yang pertama kali medengar namanya cukup dengan membaca
gelarnya, Raden Adjeng (RA). Raden Adjeng Kartini adalah putri Raden Mas
Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama,
tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji
Siti Aminah dan Kiai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.
Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.
Secara
spesifik, tulisan ini tidak bermaksud membahas geneologi atau silsilah Kartini,
tetapi bagaimana pemikiran revolusionernya tumbuh di tengah tradisi
paternalisitik yang kental di lingkungan keluarganya. Tidak bisa dipungkiri,
kuatnya paternalisitk inilah yang membuat Kartini selalu mencari jawaban dari
anomali yang terjadi. Mengapa peran perempuan seolah hanya menjadi pelengkap
kehidupan laki-laki? Tentang jawaban pertanyaan ini, Kartini sudah membuktikan
diri dan memberi inspirasi bagi para perempuan untuk berperan sesuai dengan
kemampuannya di tengah masyarakat dengan tidak menanggalkan perannya sebagai
ibu di rumah tangga dan sebagai perempuan sesuai fitrahnya.
Masuk
ke topik inti bahwa selain bangsawan Jawa, Kartini juga seorang santri.
Dia nyantri dan belajar agama kepada Kiai Sholeh bin Umar dari Darat,
Semarang, Jawa Tengah yang juga dikenal dengan Mbah Sholeh Darat. Sebelum
melakukan perjuangan kemerdekaan peran perempuan, pola pikir Kartini terbentuk
ketika belajar ngaji kepada Kiai Sholeh Darat. Sebelumnya,
kegelisahan demi kegelisahannya muncul ketika fakta yang ada masyarakat hanya
bisa membaca Al-Qur’an tetapi tidak diperbolehkan memahami artinya pada zaman
itu.
Dalam
suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini
menulis:
Mengenai
agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya
mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam
karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku
tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?
Al-Qur’an
terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa
dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di
sini, orang belajar Al-Qur’an tapi tidak memahami apa yang dibaca.
Aku
pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca.
Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak
memberi artinya.
Aku
pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati.
Bukankah begitu Stella?
RA
Kartini melanjutkan kegelisahannya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15
Agustus 1902 yang dikirim kepada Ny Abendanon.
Dan
waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan
manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Qur’an, belajar menghafal
perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.
Jangan-jangan,
guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku
akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini terlalu suci, sehingga kami
tidak boleh mengerti apa artinya.
Sampai
akhirnya Kartini bertemu dengan Kiai Sholeh Darat untuk belajar ngaji dan
menanyakan berbagai hal yang menjadi kegelisahannya selama ini terkait dengan
tidak diperbolehkannya masyarakat memahami isi dan makna Al-Qur’an. Fakta
sejarah yang ada, ternyata kebijakan ini datang dari para penjajah dengan
asumsi jika masyarakat memahami Al-Qur’an, maka jiwa merdeka akan tumbuh. Tentu
hal ini akan mengancam eksistensi kolonial itu sendiri. Hal inilah yang menjadi
alasan mengapa tidak banyak ulama saat itu yang menerjemahkan Al-Qur’an, bukan
tidak mau dan tidak mampu, tetapi harus berhati-hati dengan kebijakan Belanda
itu.
Fakta
sejarah pertemuan antara RA Kartini dengan Kiai Sholeh Darat memang tidak
diceritakan Kartini di setiap catatan surat-suratnya. Hal ini tidak lebih
karena Kartini sendiri mengkhawatirkan keselamatan Mbah Sholeh Darat karena
tidak tertutup kemungkinan kaum kolonial akan mengetahuinya.
Mbah
Sholeh Darat sendiri dalam pengajian yang diberikannya kepada Kartini
menjelaskan tentang tafsir surat Al-Fatihah. Hal ini seperti yang diceritakan
oleh cucu Mbah Sholeh Darat, Nyai Hj Fadhilah Sholeh. Dalam ceritanya, Nyai
Fadhilah mengisahkan:
Takdir
mempertemukan Kartini dengan Kiai Sholel Darat. Pertemuan terjadi dalam acara
pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.
Kemudian
ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini
menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Sholeh Darat.
Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. RA Kartini menjadi
amat tertarik dengan Mbah Sholeh Darat.
Kiai
Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun.
Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kiai
Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang
kiai.
Ini
bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya membaca Al Fatihah, tanpa pernah
tahu makna ayat-ayat itu.
Setelah
pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kiai Sholeh
Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti
anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kiai Sholeh.
“Kiai,
perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu
menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.
Kiai
Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Adjeng bertanya demikian?” Kiai
Sholeh balik bertanya.
“Kiai,
selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al-Fatihah,
surat pertama dan induk Al-Qur’an. Isinya begitu indah, menggetarkan
sanubariku,” ujar Kartini.
Kiai
Sholeh kembali tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini
melanjutkan, “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran
mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran
Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al-Qur’an adalah bimbingan hidup
bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Dialog
berhenti sampai di situ. Nyai Fadhila menulis Kiai Sholeh tak bisa berkata
apa-apa kecuali berucap “Subhanallah”. Kartini telah menggugah kesadaran Kiai
Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam Bahasa
Jawa.
Dari
riwayat di atas, Kartini menemukan cahaya yang menerangi berbagai kegelapan
pengetahuan dan ilmu yang selama ini melingkupinya dengan ngaji kepada Mbah
Sholeh Darat. Inspirasi inilah yang membuat Kartini memberi judul buku yang
berisi surat-suratnya dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Secara
historis, dalam pertemuan itu RA Kartini meminta agar Al-Qur’an diterjemahkan.
Karena menurutnya, tidak ada gunanya membaca kitab suci tapi tidak memahami
artinya. Namun pada saat itu pula penjajah Belanda secara resmi melarang
penerjemahan Al-Qur’an. Mbah Sholeh Darat tetap melakukan penerjemahan, Beliau
menerjemahkan Al-Qur’an dengan ditulis dalam huruf “Arab gundul” (pegon)
sehingga tidak dicurigai dan dipahami penjajah.
Kitab
tafsir dan terjemahan Al-Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman,
tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab pegon. Kitab
ini pula yang dihadiahkannya kepada RA Kartini pada saat dia menikah dengan RM
Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Kartini amat menyukai hadiah itu
dan mengatakan:
“Selama
ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi
sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya,
sebab Romo Kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”
(Inilah
dasar dari buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang ditulis RA Kartini, bukan
dari sekumpulan surat-menyurat beliau. Dalam hal ini, substansi sejarah Kartini
konon telah disimpangkan secara siginifikan). Melalui terjemahan Mbah Sholeh
Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu:
“Orang-orang
beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya.” (QS. Al-Baqarah: 257).
Dalam
sejumlah suratnya kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “dari gelap
menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda, Door Duisternis Toot
Licht. Oleh Armijn Pane, ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap
Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan
surat-menyuratnya.
Surat
yang diterjemahkan Kiai Sholeh adalah Al-Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini
mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Namun sayangnya
penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak selesai karena Mbah Kiai
Sholeh Darat keburu wafat.
Dari
perjumpaannya dengan Mbah Sholeh Darat itu, Kartini juga banyak memahami
kehidupan masyarakat yang selama ini terkungkung penjajahan sehingga banyak
memunculkan sikap inferioritas terutama di kalangan perempuan. Keterbukaan
pandangan dan pemikiran Kartini dari hasil kawruh (belajar) kepada
Mbah Sholeh Darat inilah yang membuat langkahnya semakin mantap untuk mengubah
tatanan sosial kaum perempuan dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Selamat
Hari Kartini!
Penulis
adalah Redaktur NU Online.
*)
Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber.
sumber : www.nu.or.id
-----------------------------------